Selasa, 11 Maret 2014

LSD


LSD

Asam lisergat dietilamida (LSD) merupakan suatu narkotika halusinogen. Obat ini bersifat psikedelik dari keluarga ergolina.
Pemeriannya adalah sebagai berikut :
• Nama umum : LSD LSD-25; Diethylamide Asam lisergat.
• Rumus kimia : 9,10-Didehydro- N , N -diethyl-6-methylergoline-8 β –carboxamide.  C 20 H 25 N 3 O = 323,4.
• Sebuah zat kristal tak berwarna.
• Larut dalam air.
• LSD mudah terdegradasi dalam spesimen biologis ketika terkena cahaya atau suhu tinggi. LSD juga dapat mengikat wadah kaca dalam larutan asam.
• Konstanta disosiasi : pK a 7,5.
• Koefisien partisi : Log P (oktanol / air), 2.9.
• Strukturnya :
LSD pertama kali disintesis oleh Albert Hofmann pada tahun 1938 dari ergot, sebuah butir jamur yang biasanya tumbuh di rye. Bentuk LSD berasal dari pada awal nama kode LSD-25, yang merupakan singkatan untuk Lysergsäure “diethylamid-Jerman” diikuti dengan nomor urut. LSD sensitif terhadap oksigen, sinar ultraviolet, dan klorin, terutama di solusi. Dalam bentuk murni itu adalah tidak berwarna, tidak berbau, dan sedikit pahit. LSD biasanya disampaikan secara lisan, biasanya pada substrat seperti penyerap tinta kertas, sebuah kubus gula, atau gelatin. Dalam bentuk cair, juga dapat diberikan melalui suntikan intramuskular atau intravena. LSD sangat kuat, dengan 20-30 ug (mikrogram) adalah dosis ambang pemakaian LSD.
Diperkenalkan oleh Sandoz Laboratories (kini Novartis), dengan nama dagang Delysid, sebagai obat dengan berbagai penggunaan psikiatrik pada tahun 1947, LSD segera menjadi agen terapi yang nampak menimbulkan harapan besar.
LSD bersifat non-adiktif (tak menimbulkan ketergantungan) dan non-toksik (tak menimbulkan keracunan) dan banyak dikenal atas efek psikologisnya yang menyebabkan tertutup/terbukanya mata, perasaan distorsi waktu, kematian ego dan pergeseran kognitif yang dalam, serta berperan penting dalam kontrabudaya tahun 1960.
Dosis tunggal asam lisergat dietilamida berkisar antara 100-500 mikrogram. Jumlah tersebut hampir setara dengan 1/10 massa sebutir pasir.
Reaksi fisik pada LSD bervariasi dan tak spesifik. Gejala berikut telah dilaporkan: konstraksi rahim, hipotermia, demam, kenaikan kadar gula darah, tegaknya bulu roma, peningkatan curah jantung, cengkeraman rahang, perspirasi, midriasis (dilatasi pupil), produksi air liur dan lendir, suhad (rasa tak dapat tidur), hiperefleksia, dan tremor. Terdapat beberapa indikasi bahwa LSD dapat menimbulkan keadaan fuga disosiatif pada orang-orang yang mengkonsumsi beberapa jenis antidepresan tertentu seperti garam litium dan trisiklik.
LSD adalah senyawa kiral dengan dua stereocenters pada karbon atom C-5 dan C-8, sehingga secara teoritis LSD memiliki empat isomer optik berbeda. LSD, juga disebut (+) – D-LSD, memiliki konfigurasi mutlak (5 R, 8 R). C-5 isomer dari lysergamides tidak ada di alam dan tidak terbentuk selama sintesis dari asam D-lisergat. Retrosynthetically , di pusat kiral C-5 dapat dianalisis dan memiliki kiralitas sama karbon alfa dari asam amino biologis L- tryptophan, pendahulu untuk semua senyawa ergoline biosintetik.
Reaktivitas dan degradasi LSD
“LSD,” tulis ahli kimia Alexander Shulgin , “adalah molekul rapuh yang luar biasa.” [4] Ini stabil untuk waktu tak terbatas jika disimpan sebagai garam padat atau dilarutkan dalam air, pada suhu rendah dan terlindung dari udara dan paparan cahaya.
LSD memiliki dua proton sensitif tersier kiral pada posisi C5 dan C8 yang rentan terhadap racemisation. Proton C8 lebih labil karena menarik elektron-lampiran carboxamide, tetapi pemindahan proton kiral pada posisi C5 (yang sebenarnya pernah juga merupakan proton alfa dari molekul induk triptofan ) dibantu oleh-menarik nitrogen induktif dan pi delokalisasi dengan elektron cincin indol.
LSD juga memiliki enamina tipe reaktivitas-karena efek-sumbangan elektron dari cincin indol. Karena itu, klorin menghancurkan molekul LSD, bahkan meskipun klor air keran yang mengandung sejumlah kecil klorin, LSD larut dalam air keran kemungkinan akan sepenuhnya menghilangkan substansi. Ikatan rangkap antara posisi 8 dan cincin aromatik , yang terkonjugasi dengan cincin indol, rentan terhadap serangan nukleofilik oleh air atau alkohol, terutama di hadapan cahaya. LSD sering mengkonversi ke “Lumi-LSD”, yang sama sekali tidak aktif dalam diri manusia.
Studi tentang LSD dalam sampel urin. Konsentrasi LSD dalam sampel urin diikuti dari waktu ke waktu pada berbagai suhu, dalam berbagai bentuk wadah penyimpanan, di berbagai eksposur berbeda panjang gelombang cahaya, dan pada berbagai nilai pH. Studi-studi ini menunjukkan tidak ada kerugian yang signifikan dalam konsentrasi LSD pada 25 ° C sampai empat minggu. Setelah empat minggu diinkubasi, kehilangan 30% konsentrasi LSD pada suhu 37 ° C dan sampai dengan 40% pada 45 ° C diamati. Urin diperkaya dengan LSD dan disimpan dalam gelas amber atau kontainer polietilen transparan tidak menunjukkan perubahan dalam konsentrasi dalam segala kondisi cahaya. Stabilitas LSD dalam wadah transparan di bawah sinar itu tergantung pada jarak antara sumber cahaya dan sampel, panjang gelombang cahaya, waktu pemaparan, dan intensitas cahaya. Setelah kontak yang terlalu lama menjadi panas pada kondisi pH basa, 10 sampai 15% dari orang tua untuk iso diepimerisasikan LSD-LSD. UDalam kondisi asam, kurang dari 5% dari LSD dikonversi menjadi iso-LSD. Ini juga menunjukkan bahwa jumlah jejak ion logam dalam buffer atau urin dapat mengkatalisis penguraian LSD dan bahwa proses ini dapat dihindari dengan penambahan EDTA .

Pembentukan Akrilamida dalam Makanan


Pembentukan Akrilamida dalam Makanan

Asparagin yaitu asam amino utama mempunyai struktur mirip dengan akrilamida, dan diduga senyawa tersebut yang paling berperan dalam pembentukan akrilamida. Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh pemerintah Kanada dan pabrik  Procter and GambleCo. Keduanya sama-sama mencurigai adanya hubungan antara asparagin dengan pencetus akrilamida (Nebrisa, 2005).
Akrilamida ditemukan pada beberapa makanan tertentu yang dalam proses dan pembuatannya menggunakan suhu tinggi, dengan meningkatnya suhu pemanasan dan bertambahnya waktu, dapat meningkatkan kadar akrilamida. Akrilamida tidak terbentuk pada suhu di bawah 120C. Mekanisme terbentuknya belum dapat diketahui dengan pasti diperkirakan meliputi reaksi dari berbagai macam kandungan dalam makanan, seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam amino, serta berbagai macam komponen lainnya dalam jumlah yang kecil. Mekanisme pembentukan yang mungkin dan telah dikemukakan oleh peneliti antara lain :
  1. Terbentuk dari akrolein atau asam akrilat hasil degradasi karbohidrat, lemak, atau asam amino bebas, seperti alanin, asparagin, glutamin, dan metionin yang memiliki struktur yang hampir mirip dengan akrilamida.
  2. Terbentuk langsung dari asam amino
  3. Terbentuk dari dehidrasi atau dekarboksilasi beberapa asam organik tertentu seperti asam laktat, asam malat, dan asam sitrat.
Akrilamida dianggap sebagai reaksi samping dari reaksi Maillard, yakni reaksi yang berlangsung antara asam amino dengan gula pereduksi (glukosa, fruktosa, ribosa, dan lain-lain). Asparagin merupakan asam amino dalam makanan yang bereaksi dengan gula pada suhu tinggi (Nebrisa, 2005).

Akrilamida


Akrilamida

Definisi dan Karakteristik Akrilamida
Akrilamida (CH2=CHCONH2) adalah senyawa kimia berwarna putih, tidak berbau, berbentuk kristal padat yang sangat mudah larut dalam air dan mudah bereaksi melalui reaksi amida atau ikatan rangkapnya. Monomernya cepat berpolimerisasi pada titik leburnya atau di bawah sinar ultraviolet. Akrilamida dalam larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak berpolimerisasi secara spontan. (Harahap,Y, 2006).
Struktur Kimia :
O
H2 CH  ─ NH2
Struktur Kimia Akrilamida
Rumus molekul : C3H5NO
Sinonim  : 2-Propenamida, etilen karboksi amida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil amida.
Bobot molekul   : 71,08
Kelarutan           : Senyawa ini dapat larut dalam air (215,5 g/100 mL) dalam aseton (63,1 g/100 mL) dan dalam etanol (66,2 g/100 mL)
Titik lebur           : 84,5oC
Titik didih          : 87oC (2mmHg), 105oC (5mmHg), 125oC (25mmHg).
(Maryadele.J.O’Neil,2001).
2.1.2    Sifat Farmakokinetika Akrilamida
Absorbsi dari akrilamida melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan kulit. Pada pendistribusiannya, akrilamida terdapat dalam kompartemen sistem tubuh dan dapat menembus selaput plasenta. Pada urin tikus, telah ditemukan metabolit, seperti asam mekapturat dan sistein-s-propionamida. Glisidamida, merupakan metabolit utama dari akrilamida, yaitu epoksida yang lebih dicurigai dapat menyebabkan penyakit kanker dan bersifat genotoksik pada hewan percobaan. Akrilamida dan metabolitnya terakumulasi dalam sistem saraf dan darah. Akrilamida dicurigai lebih bersifat neurotoksik dibandingkan dengan glisidamida. Pada ginjal, hati dan sistem reproduksi pria juga terjadi akumulasi. Berdasakan pada percobaan pada hewan, akrilamida diekresikan dalam jumlah besar melalui urin dan empedu sebagai metabolitnya. Diketahui terdapat akrilamida air susu tikus yang sedang menyusui. Data-data farmakokinetika akrilamida pada manusia masih sedikit, namun antara manusia dan hewan mamalia belum terdapat data yang dengan pasti menunjukan perbedaan dari keduanya (Harahap, 2006).
Akrilamida dapat meningkatkan timbulnya tumor kelenjar payudara pada tikus betina. Pada tikus jantan dapat memicu degenerasi tubulus seminiferus dan aberasi kromosom spermatosit serta menurunkan kadar testosteron dan prolaktin. Namun, uji fertilitas belum dilaporkan. Dengan pemberian secara oral, topikal, dan intraperitonial akrilamida dapat memicu kanker kulit. Akrilamida, dimasukan ke dalam kategori grup 2A yaitu senyawa yang hampir dipastikan menyebabkan kanker pada manusia (karsinogenik). Hal tersebut dikarenakan jumlah peserta yang diikutsertakan dalam penelitian masih belum memadai untuk suatu uji epidemiologik. Berdasarkan data yang ada, belum ada data epidemiologik yang menunjukan bahwa paparan akrilamida dapat menyebabkan kanker (Harahap, 2006).
FAO dan WHO memberikan arahan sementara untuk mencegah kemungkinan terjadinya resiko akibat akrilamida, meskipun informasi tentang akrilamida dan dampaknya dalam makanan belum lengkap, diantaranya :
  1. Pola makan yang seimbang dan bervariasi, seperti sayur-mayur dan buah-buahan, dan menghindari atau mengurangi makanan yang diduga mengandung akrilamida.
  2. Makanan tidak dimasak dengan suhu yang terlalu tinggi, hanya dengan suhu yang cukup untuk menghancurkan mikroorganisme patogen (Winarno,1992).

KOLOID


Koloid

Dalam kehidupan sehari-hari ini, sering kita temui beberapa produk yang merupakan campuran dari beberapa zat, tetapi zat tersebut dapat bercampur secara merata/ homogen. Misalnya saja saat ibu membuatkan susu untuk adik, serbuk/ tepung susu bercampur secara merata dengan air panas. Ini merupakan salah satu contoh koloid .
Pengertian koloid
Koloid adalah suatu campuran zat heterogen (dua fase) antara dua zat atau lebih di mana partikel-partikel zat yang berukuran koloid (fase terdispersi/yang dipecah) tersebar secara merata di dalam zat lain. Dimana di antara campuran homogen dan heterogen terdapat sistem pencampuran yaitu koloid, atau bisa juga disebut bentuk (fase) peralihan homogen menjadi heterogen. Campuran homogen adalah campuran yang memiliki sifat sama pada setiap bagian campuran tersebut, contohnya larutan gula dan hujan. Sedangkan campuran heterogen sendiri adalah campuran yeng memiliki sifat tidak sama pada setiap bagian campuran, contohnya air dan minyak.
Ukuran partikel koloid berkisar antara 1-100 nm. Ukuran yang dimaksud dapat berupa diameter, panjang, lebar, maupun tebal dari suatu partikel. Contoh lain dari sistem koloid adalah adalah tinta, yang terdiri dari serbuk-serbuk warna (padat) dengan cairan (air). Selain tinta, masih terdapat banyak sistem koloid yang lain, seperti mayones, hairspray, jelly, dll.
Ciri-ciri koloid
  • 2 fase
  • Keruh
  • Antara homogen dengan heterogen
  • Diameter partikel: 1 nm<d<100 nm
  • Tidak dapat disaring dengan penyaring biasa
  • Tidak memisah jika didiamkan
Keadaan suatu koloid adalah suatu campuran berfasa dua yaitu fasa terdispersi dan fasa pendispersi dengan ukuran partikel terdispersi berkisar antara 10-7 sampai dengan 10-4 cm. Besaran partikel yang terdispersi, tidak menjelaskan keadaan partikel tersebut. Partikel dapat terdiri atas atom, molekul kecil atau molekul yang sangat besar.
Jenis-jenis koloid
Koloid merupakan suatu sistem campuran yang seolah-olah stabil, tapi akan memisah setelah waktu tertentu atau di sebut juga metastabil..
Secara umum koloid ada terbagi menjadi dua :
1. Zat terdispersi, yakni zat yang terlarut di dalam larutan koloid
2. Zat pendispersi, yakni zat pelarut di dalam larutan koloid
Sedangkan erdasarkan fase terdispersinya, koloid dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. Sol (fase terdispersi padat)
a. Sol padat adalah sol dalam medium pendispersi padat
Contoh: paduan logam, gelas warna, intan hitam
b. Sol cair adalah sol dalam medium pendispersi cair
Contoh: cat, tinta, tepung dalam air, tanah liat
c. Sol gas adalah sol dalam medium pendispersi gas
Contoh: debu di udara, asap pembakaran
2. Emulsi (fase terdispersi cair)
a. Emulsi padat adalah emulsi dalam medium pendispersi padat
Contoh: Jelly, keju, mentega, nasi
b. Emulsi cair adalah emulsi dalam medium pendispersi cair
Contoh: susu, mayones, krim tangan
c. Emulsi gas adalah emulsi dalam medium pendispersi gas
Contoh: hairspray dan obat nyamuk
3. Buih (fase terdispersi gas)
a. Buih padat adalah buih dalam medium pendispersi padat
Contoh: Batu apung, marshmallow, karet busa, Styrofoam
b. Buih cair adalah buih dalam medium pendispersi cair
Contoh: putih telur yang dikocok, busa sabun
Untuk pengelompokan buih, jika fase terdispersi dan medium pendispersi sama-sama berupa gas, campurannya tergolong larutan.
Kestabilan koloid
Terdapat beberapa gaya yang menentukan kestabilan koloid, yaitu sebagai berikut :
  • Gaya tarik – menarik atau  biasa dikenal dengan gaya London – Van der Waals.
Gaya ini menyebabkan partikel – partikel koloid berkumpul dan akhirnya mengendap.
  • Gaya tolak menolak.
Gaya ini terjadi karena pertumpangtindihan lapisan ganda listrik yang bermuatan sama. Gaya tolak – menolak tersebut akan membuat dispersi koloid menjadi stabil.
  • Gaya tarik – menarik antara partikel koloid dengan medium pendispersinya.
Gaya ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi partikel koloid dan gaya ini juga dapat meningkatkan kestabilan sistem koloid secara keseluruhan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas koloid ialah muatan permukaan koloid. Besarnya muatan pada permukaan partikel dipengaruhi oleh konsentrasi elektrolit dalam medium pendispersi. Penambahan kation pada permukaan partikel koloid yang bermuatan negatif akan menetralkan muatan tersebut dan menyebabkan koloid menjadi tidak stabil.
Untuk koloid yang berupa emulsi dapat digunakan emulgator yaitu zat yang dapat tertarik pada kedua cairan yang membentuk emulsi. Contoh: sabun deterjen sebagai emulgator dari emulsi minyak dan air.

Spektrofotometri derivatif


Spektrofotometri derivatif

spektrum derivatifSpektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektra pada spektrofotometri UV-Vis (Connors, 1982).
Metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk analisis kuantitatif zat dalam campuran dimana spektrumnya mungkin tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih dengan mengabaikan proses pemisahan zat terlebih dahulu. Spektrum yang dialih bentuk ini menghasilkan profil yang lebih rinci yang tidak terlihat pada spektrum normal (Connors,1982; Willard,1988).
Kegunaan spektrofotometri derivatif adalah (Mulja, 1995):
  1. Apabila menghadapi campuran dua komponen yang spektrumnya saling tumpang tindih, maka analisis kuantitatif cara derivatif menjadi metoda yang terpilih.
  2. Analisis kuantitatif campuran dua komponen yang keruh.
  3. Analisis kuantitatif campuran dua komponen yang merupakan isomeri (kecuali isomer optis aktif atau rasemik).
  4. Spektra derivatif dapat dipakai untuk maksud kualitatif atau sebagai data pendukung.
Dalam suatu campuran, pengukuran konsentrasi dalam suatu sampel (analyte) dapat dilihat dalam campuran sehingga dapat membuat pengerjaan ini menjadi lebih mudah atau lebih akurat. Tetapi yang sering menjadi kendala yaitu spektra derivatif tidak dapat mengurangi atau menghindarkan adanya gangguan dari rasio serapan pengganggu yang lain (signal-to-noise ratio ) (Skoog,1992).
Konsep derivatif telah diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950, dimana terlihat memberikan banyak keuntungan. Aplikasi utama spektroskopi derivatif ultraviolet-cahaya tampak adalah untuk identifikasi kualitatif dan analisis sampel. Metode spektroskopi derivatif sangat cocok untuk analisis pita absorbsi yang overlappingatau terlalu landai (Owen, 1995).
Pada spektrofotometri konvensional, spektrum serapan merupakan plot serapan (A) terhadap panjang gelombang (λ). Pada metode spektrofotometri derivatif ini perajahan absorbansi terhadap panjang gelombang ditransformasikan menjadi perajahan dA/dλ terhadap λ untuk derivatif pertama, dan d2A/dλ2 terhadap λ untuk derivatif kedua, dan seterusnya. Panjang gelombang serapan maksimum suatu senyawa pada spektrum normal akan menjadi panjang gelombang zero-crossing pada spektrum derivatif pertama. Panjang gelombang tersebut tidak mempunyai serapan atau dA/dλ = 0 (Connors, 1982).
Spektra derivatif biasanya digambarkan oleh diferensiasi digital atau dengan modulasi panjang gelombang dari radiasi yang mengenai sel sampel. Interval modulasi panjang gelombang menjadi sangat berkurang dibanding dengan lebar pita dari pita absorbsi apapun dalam spektrum. Penggunaan spektroskopi derivatif adalah untuk menurunkan rasio pengganggu (noise). Metode yang mungkin untuk evaluasi kuantitatif dari spektrum derivatif adalah metode zero crossing, metode tangent, dan metode peak to peak (Laqua, 1988).
Spektrofotometri UV-Vis derivatif kedua dapat menampilkan dan memberikan keuntungan dalam pengukuran untuk sediaan formulasi tablet yang terdiri dari zat aktif dan zat tambahan. Pada sediaan farmasi yang terdiri dari zat campuran yaitu zat aktif dan zat tambahan menghasilkan larutan yang keruh sehingga spektrofotometri derivatif metode tangen dapat digunakan untuk larutan yang keruh seperti sediaan tablet anti influenza (Altinoz, 2000).
Metode tangen dapat digunakan dengan mudah dalam aplikasi karena lebih mudah, lebih sederhana, dan lebih cepat menganalisis suatu penelitian yang bersifat ilmiah (Ishak, 2000).
Spektra derivatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode matematika. Keuntungan dari metoda matematika adalah spektra derivatif dapat lebih mudah dihitung dan dihitung kembali dengan parameter yang berbeda yaitu dengan teknik smoothing yang dapat digunakan untuk menghilangkan rasio serapan pengganggu (signal-to-noise ratio ) (Owen, 1995).